Lettre

 




Dear, 
Kamu, Saturnus Kulacino.
...
   
    Apakabar kamu yang di sana? Apakah sudah terlanjur bahagia dengan kesenangan yang di sana? Kalau memang benar-benar sedang bahagia, hati ini pun akan ikutan bahagia. Walau sambil miris menahan pedis. Tapi hati ini akan tetap bertahan, walau kadang sedikit sulit untuk menahan. 
    Teringat beberapa hari lalu, saat pertama kalinya kamu mengatakan "terserah". Di sanalah aku terkulai lemas. Tak pernah kau mengatakan kalimat itu, walau dalam keadaan semarah apa pun dirimu. Kali ini nampaknya kamu benar-benar marah. Padahal aku pun tak mengerti hingga saat ini, mengapa harus kamu yang marah. Bukankah seharusnya ini adalah hak ku untuk marah? Ah sudahlah, ternyata ego kita memang sama-sama kuat. 
    "Hah, dia memang bisa marah sekarang. Karena kamu sudah tak dicintai lagi!" ucap logika dengan enteng. 
    "Benarkah? Apakah memang seperti itu?" balas hati dengan raut wajah tak percaya. 
  "Kali ini, percayalah. Dia sudah tak mencintaimu lagi. Lekaslah kemasi semua barang-barang kehidupanmu bersamanya. Kamu harus segera pergi dan melupakannya. Sudah ku bilang dahulu, bahwa ragamu hanyalah barang subtitusi untuk barang asli yang sedang transit di dalam perjalanan" ucap logika seraya menabrak ulu hatiku yang terdalam. 
    Seketika aku lemas. Mungkin benar kata logika, aku hanyalah barang subtitusi dari rasa kesepianmu selama ini. 


Tertanda,
Aku, Venus Nuraga Kuartanagara.