Une Distance Brisée
...
Hidup enggak pernah mudah. Apa lagi jika kamu sudah memiliki pasangan, namun fisiknya tak mampu untuk tersentuh karena raganya di tempat yang berbeda, belahan dunia yang berbeda. Dia sehat, bebas bermain, dan menikmati dunia dengan indah. Dia masih hidup, namun wajahnya menjadi maya. Internet memang canggih, namun sentuhan fisik tetap tak akan bisa tergantikan. Manusia itu butuh pelukan konkrit, bukan pelukan fatamorgana.
Lagi, hidup itu enggak pernah mudah.
“Kamu di sana aman?”
“Aman dong. Aku bahkan semakin rajin pergi ikut kegiatan volunter earth hour, nih” balasnya. Pasti dengan expresi hati yang sangat antusias.
Hmmm…
Bukan itu maksudnya. Apakah hati kamu masih aman? Masih berpihak sama satu pasangan saja? Atau sudah ada lirikan lagi ke wanita lain? Kenapa pria selalu menuntut wanita peka, sedangkan dirinya saja begitu sulit dalam merasa peka.
Hari ini, pada remang-remang lampu pagi hari, saat Laura baru menyalakan MacBooknya sebelum mengajar pada pukul 09.00 Wita nanti.
“Yaudah, selamat istirahat ya. Enjoy the day…”
“…..”
Tak ada balasan lagi. Tak seperti biasanya. Rindu sekali rasanya dengan pesan-pesan lucu di antara hati yang sedang jatuh cinta dan saling memiliki. Masa-masa itu sulit terulang, apa lagi di masa kini dan masa depan dua raga yang saling mencintai itu sedang terpisah jarak. Ah benar kata orang, salah satu musuh dari cinta sejati adalah “jarak”. Jangan mengelak deh, kamu pasti pernah terbersit untuk cheating dari pesangan di saat sedang terpisah jarak. Mepetin teman sekantor mungkin, ya ini sih yang paling mungkin.
Saat jarak memisahkan raga, ribuan prasangka menyerbu ulu hati. Mungkinkah dia sudah ada teman chat atau saling berkirim pesan melalui direct message? Atau dia sudah ada teman curhat yang lain? Teman yang jauh lebih hangat dan nyaman? Kenapa lama balesnya? Dan jebakan-jebakan kalut lainnya.
“Duh!” jangan sampai hati ini remuk.
Roland yang saat ini masih di Paris, fokus menyelesaikan pendidikan spesialis dokternya, dan Laura yang saat ini fokus meniti karir sebagai dosen muda pada salah satu Universitas swasta di Mataram, membuat dua pasangan ini sama-sama sibuk menata kehidupan masing-masing. Yap, bertunangan namun berpisah jarak bukannya sama aja dengan tak ada apa-apa? Sama-sama sibuk, sama-sama keras hati, namun kenapa harus memaksa diri untuk saling mencintai? Dua insan yang sedang jatuh cinta memang terkadang buta. Harusnya inget pesan mama, kalau mau sukses cinta, suskeskan dulu “dekatnya”. Jangan main jauh-jauhan.
Semalam, di saat badan sedang remuk karena lelah mengurus Rencana Pembelajaran Semester yang makin kesini makiin gak jelas, pesan itu masuk. Auranya sudah tak seindah dulu. Aura bahagia saat menerima panggilan telepon itu sudah sirna. Semua sudah tak biasa.
“Lau, Aku bobok dulu ya…” terlihat wajah lemas dari Pria yang dulu sangat dicintainya.
“Ah Oke, have a nice dream. Bonne nuit!” balas Laura dengan singkat. Logat british dan prancis yang bercampur aduk begitu kental.
Dah tret, semua berakhir. Telpon-telponan yang dulu ada sudah tak ada lagi. Suara mesra yang ingin didongengkan dulu sudah tak ada lagi. Sudah tak diminta lagi. Curhat? Dia yang dulu paling sering curhat, sudah tak ada lagi. Kemana ya curhatnya sekarang? Ke orang lain? Orang lain ini siapa? Curiga itu memang tak enak. Makan pun tak akan pernah terasa gurih di saat hati sedang hambar.
Arah hubungan ini semakin rumit dan remang. Air mata Laura menetes pada deretan huruf keyboard laptopnya. RPS Operational Management System yang sedang dikerjakannya menjadi semakin buyar. Tak ada huruf yang mampu dia ketik di saat hati sedang patah dan berkerak.
“Bu Lau? Is everything okay?” ucap Arkan, dosen yang juga baru di kampus itu. Pria tinggi itu tampak memesona dengan kumis tipisnya. Ia tampak khawatir melihat Lau yang sudah seperti manekin tak terurus.
“Bu Lau? Is it too hard to handle?” ucap Arkan sekali lagi. Dia seolah melihat Lau sakit karena kelelahan mengerjakan RPS yang tak jelas. Seorang lulusan Prancis berjurusan management financier et contrôle international diminta untuk menyusun RPS mata kuliah yang tak ada hubunganya sama sekali bidang ilmunya.
“Ah, pardonne-moi?” Laura refleks menjawab menggunakan bahasa Prancis yang kental.
“Bu Laura baik-baik saja?” Wajah Arkan tampak khawatir. Kumisnya makin menarik saat bibirnya mulai berucap. Wajahnya mirip sekali dengan vokalis Duta Sheila on 7.
“Saya baik-baik saja, Pak. Maaf!”
“Kalau ada masalah, just tell me soon, ok?” tegasnya. Suaranya tampak tegas, tapi wajahnya lembut. Ah sayang sekali, manusia yang satu ini sudah menikah dan memiliki satu buah hati yang lucu dan menggemaskan.
“Sure!” balas Laura dengan mantap. Dia kembali segar. Malu sekali rasanya terlihat lemah di depan orang lain. Malu sekali rasanya diketahui meneteskan air mata di hadapan orang lain yang baru dia kenal beberapa hari lalu. Oh malu, ingin rasanya memasukkan diri ke dalam laci meja.
Lagi, hidup itu memang enggak pernah mudah. Di saat kita sedang memiliki, sebaiknya segera persiapkan diri untuk kehilangan. Siapkan hati dan mental untuk bisa tetap semangat di saat harus dipaksa mengikhlaksan. Tidak ada gladi resik untuk persiapan menghadapi perpisahan. Tapi, tidak ada salahnya untuk mulai gladi sejak dini. Hati cuma satu, hidup cuma sekali. Kelak di surga pun belum tentu ketemu.
“Sudah tidak ada kehangatan di saat kita sudah berjarak. Jarak yang harusnya membuat rindu, tapi sayang kita gagal. Kita malah berakhir curiga” tangis Laura dalam hati.
Kali ini, air matanya tak menetes lagi. Karena jika air mata menetes, Arkan pasti akan mengira bahwa dirinya sedang menangisi RPS yang sinting itu.
-Bersambung
