LUNDI
Saat itu juga, Aku benar-benar sesak dan gemetar membaca pesan WhatsApp.
Aku sakit, benar-benar merasa terluka. Seseorang yang sudah menjadi tulang rusukku sejak 8 tahun lalu, kini harus kandas. Tulang rusuk itu remuk, kandas. Kita selesai.
Aku benci menulis kata “selesai”, tapi kita memang benar-benar selesai.
Sejak hari Senin itu.
“I was waiting for you, waiting and waiting”
Namun adakalanya Aku benar-benar lelah menunggu. Namun kamu malah terdiam seperti tidak ada usaha atas hubungan kita yang sudah berjalan begitu lama. Apakah sekian lama bersama mu itu tidak berharga? Batin ku tidak pernah berhenti untuk teriak. Aku kecewa, benar-benar ingin marah. Aku menangis kencang. Namun itu semua percuma. Kami berdua sudah selesai. Hubungan yang sejak dulu kita bangun bersama, akhirnya “usai”.
“I was heartbroken” ungkap mu.
Dan menurutmu Aku tidak pernah terluka? Aku manusia yang selalu terluka dari setiap goresan cerita kita berdua. Kenapa kamu malah “playing victim” kepada ku? Dengan langkah gontai, Aku kembali melihat jalan raya yang ada di depan rumah ku. Aku masih berharap, Kamu akan selalu datang.
Menunggu ketidakpastian itu ternyata menyakitkan.
Ku tatap layar kontak yang berisikan nama mu “Arang Nuraga”. Manusia berhati lembut, penyabar, yang selalu mengalah demi Aku. Betapa Aku benar-benar kehilangan raga dan jiwamu. Betapa Aku kehilangan setiap cerita indah dalam hidup ku. Sekarang Aku lemah, gontai, dan remuk. Ternyata Aku seperti kayu ringkih tanpa pelukanmu. Aku benar-benar rindu. Aku benar-benar haus akan badanmu. Aku lapar akan kasih sayang mu.
Damn, I hate this.
Aku benci merindukanmu di saat Aku sedang patah hati. Aku benar-benar muak dengan betapa lemahnya hatiku ketika berjauhan dengan mu. Ingin sekali rasanya mengutuk hatiku yang tidak berhenti menyebut dan mengharapkanmu. “Kenapa kamu belum datang juga untuk menemuiku, Arang” teriak hatiku.
Hatiku tidak pernah berhenti untuk teriak. Aku masih sayang, benar-benar masih sayang.
Sejak hari ini, Aku trauma dengan Senin.
Hari yang kamu janjikan untuk bertemu, namun kamu malah memilih menghilang.
Kamu bohong dengan janjimu. Kamu ingkar dengan kalimatmu sendiri.
Apakah ada orang lain yang tengah membuatmu nyaman? Apakah Aku sudah terlupakan?
Kenangan kita? Do you really forget about us?
Sekarang, Aku bingung bagaimana caranya bangkit.
How can I move on with a million memories?
Damn, I hate this.
Can we just delete the picture, meanwhile we still like the picture?
Ok damn. I can remove the picture, but what about the memory in it? Can I?
Impossible, right?
Ku hapus fotonya, namun kenangan di dalamnya sudah menempel dikepala dan ulu hati? Lantas mau gimana lagi?
Nyatanya, ini bukan tentang fotonya. Melainkan tentang memori, dan kenangan yang akan tetap hidup di dalamnya. Ada nyawa di dalam foto tersebut. Dan nyawa itu akan tetap hidup meski dibakar atau pun dirobek.
Nyatanya, tempat paling indah dan menyenangkan itu bukan tentang “dimana”, melainkan tentang dengan siapa, siapa yang bisa diajak cerita, siapa yang bisa diajak bercanda, dan siapa yang bisa diajak saling menyembuhkan. Namun sayang, aku sudah kehilangan itu semua darinya. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Dan tersisa hanya “Aku”.
Aku saja.
Berdiri sendiri.
Mengharapkan apa pun dari diri sendiri.
Rana Alezandria, wanita yang dianggap tangguh oleh temannya, saat ini tumbang juga.
Bisakah Aku seorang Rana bangkit kembali?
Tuhan tolong bantu Aku. Saat ini, Aku hanya memiliki Tuhan.
Aku paham hari senin itu adalah hari yang berulang. Namun mohon, kuatkanlah Aku pada setiap hari Senin. Hari dimana Aku menunggu dan menagih janji seseorang.
-Bersambung
