Stevie

 

[First Meet]

Namanya Arshad, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang membuatku terpukau dari setiap kata yang keluar dari bibirnya yang manis. Dia sempurna, dia benar-benar definisi dari ciptaan tuhan yang diciptakan Tuhan saat tersenyum. Aku menyukainya, dari pertama kali dia mengucapkan “Hai” di dalam mobil putihnya yang bernama “Stevie”. 


He was really a spoken soft man yang benar-benar aku impikan selama ini. Ada raut ikhlas dimatanya, ada guratan ketulusan dibalik hatinya yang tampak sangat kuat dan kokoh. Aku melihat tubuhnya tegak dan tegap, sungguh menandakan antologi benteng pertahanan yang sangat kuat dan kokoh, Aku sangat menginginkannya. Aku berambisi bersamanya. I do really want him. 


Malam itu, Dia menjemputku di depan gang. Saat suasana benar-benar lengang. Saat itu,  dia tampak melihatku dari arah jauh, dia memiliki waktu sekitar 5 menit untuk mengamati dan meneliti keadaan fisik ku. Whether I am good or not for him. Curang sih kesannya, namun Aku tetap menjalaninya. Semoga dia menjadi tempat pulang ku kelak. Tempat pulang di saat rintik, gerimis, atau pun badai kehidupan sedang menerjang. 

“Aku Arsyad” ucapnya sambil menjulurkan tangan. Aku kaget, karena bersentuhan di awal pertemuan itu memang selalu membuatku gemetar. 

“Aku Rere, Rere Alexander Sutomo” balasku dengan lembut. Tangan pria dihadapan ku itu sangat lembut, namun goncangannya tampak kekar dan kokoh. Dia definisi pria yang aku ambisikan. 


Seketika, Aku ingin langsung memutar lagu Novo Amor - Anchor. Aku benar-benar gemetar. Kali ini, Aku gemetar dengan gesekan tangannya. Sepertinya sentuhan tangan tidak cukup, aku ingin memeluk tubuhnya yang kokoh dan perkasa itu. 


Dua menit pertama, kami berdua tampak lengang, we don’t know what to do. Ya begitulah, setiap perkenalan selalu dimulai dari tahapan “diam”. Perkenalan kali ini, selayaknya perkenalan manusia normal umumnya. Masih belum ada yang spesial. 

“Are you that really Introvert?” ucapku membuka percakapan awal. Karena kami berdua tidak mungkin saling berdiam diri terus. 

“I am Extrovert” balasnya tegas. Aku diam sejenak. Sepertinya sudah mulai muncul perbedaan diantara kita berdua. Mobil putihnya terus melaju, berjalan pelan menuju jalanan favorit ku. Aku senang jalan-jalan di malam hari. Aku tidak tahu, namun dia dapat memahami ku dari awal perkenalan. Dan Aku mulai suka. Mulai tumbuh bunga dari relung hati terdalam. 

Saat jantungku mulai berdebar, Aku ingin sekali memutar lagu Novo Amor - State Lines. 

Aku benar-benar ingin meleleh seperti lantunan lagunya. 

Mobil terus melaju, cerita kami berdua semakin menantang. Semoga bisa “happy ending”. 

….

[Second Meet]

Pesan teks-nya tampak canggung, padahal dia mengaku ekstrovert.

“Hmmmm”

“Thx…”

“Oke”

Kata-kata singkat yang mengindikasikan ketidaksukaan. Kata-kata yang justru membuatku menjadi insecure terhadap diriku sendiri. 

“Apakah Aku kurang? Letak kurang ku ada disebelah mana?” teriak hatiku. Benar-benar ingin lari dari kehidupan. Aku benar-benar tidak suka diperlakukan seperti ini. 

“Aku suka bertemu dengan orang baru?” ucapnya. 

“Oh okay” balasku dengan singkat. 


Seketika kepalaku kembali memutar kenangan satu malam itu. Dia hanya mencari teman baru, teman ngobrol, bukan teman hidup. It was so sad. Betapa Aku benar-benar merasa diri tertampar olehnya. Aku ingin menangis, Aku ingin berteriak dengan kencang, agar malam dan rembulan dapat mendengarkan setiap isi luka hatiku. Namun Aku benar-benar kehilangan arah. Bagaimana mungkin kehilangan dia membuatku serasa kehilangan arah hidup. Dia hanyalah pria biasa yang kutemui satu malam dengan durasi 70 menit. Bagaimana mungkin durasi singkat itu membuatku terbawa perasaan dan ingin jatuh kedalam pelukannya. Sentuhan sedikit, membuat luka seperti sewindu. 


“Aku muak kepada hati ku sendiri…” ucapku keras. 

Aku benci kepada diriku sendiri, di saat Aku harus mulai menyukai seseorang saat pandangan dan percakapan pertama. Namun Aku harus paham bahwa hidup itu memang tidak selama baik kepada diri kita sendiri. 


Aku memilih menyerah, Aku memilih mengundurkan diri. Tuhan menyelamatkan ku dari rasa sakit yang paling parah lagi. Aku memilih mundur. Demi kebaikan ku dalam jangka panjang. Aku seharusnya bahagia, dan Aku akan bahagia tanpa dirinya. Banyak hal yang perlu diperjuangkan dalam hidup, namun pengecualian untuk bagian ini. Aku tidak akan membuang waktu untuk sesuatu yang sudah aku ketahui sebagai luka. Aku paham, bahwa rasa trauma ku terhadap lelaki membuat ku peka dan mampu untuk melakukan peramalan terhadap luka. 

[The Chat]

Aku menunggu pesannya. Aku menangisi diriku yang mencintainya. Aku selalu gagal dalam memulai percintaan. Aku dibuat cinta dan sayang kepada dirinya. Namun sekarang, aku kembali harus menelan pil pahit dari cinta yang bertepuk sebelah tangan. Salah satu patuh hati terburuk dalam hidup adalah saat kamu merasa “tidak diinginkan oleh seseorang”. Aku merasa malu. 

“Hai sayang, Aku sudah di depan rumah” pesan teks Line.

 

“Ce message a été supprimé” pesan dihapus. 

Depan rumah? Dan aku pergi ke depan rumah, apakah dia benar-benar ada di depan. 

And damn shit, he’s not there. 

I am not that “sayang” yang dia maksud. 

Saat itu, puncak rasa cintaku langsung hilang, saat Aku mengetahui bahwa dirinya telah memiliki orang lain. Dan Aku hanya akan dijadikan sebagai bahan cadangan? Bagaimana mungkin ini semua bisa terjadi. 

Aplikasi Get Contact “My Love” yang muncul membuat ku menjadi lemah dan lemas. Aku terjatuh dari lamunan dan mimpiku akan hubungan masa depan bersamanya. 

“Yes I am not perfect! And he’s so perfect” kalimat itu terusan berulang dalam kepalaku. Aku benci dengan ini semua, aku kesal dengan diriku sendiri, mengapa aku harus merindukan seseorang yang tak seharusnya Aku rindukan. Aku seharusnya tidak pernah berjumpa, jika pada ujungnya Aku akhirnya terluka. 

Aku malu dan muak kepada diriku sendiri, saat merindukan seseorang yang tidak mencintaiku.

Rindu ku bertepuk sebelah tangan. Sayang ku terbuang begitu saja. 

[The Last]

Saat Aku benar-benar ingin hilang.

Dia tiba-tiba muncul kembali,

“Hai, selamat Pagi!”

“Nanti pulang jam berapa?”

Asshole! Aku benci ini. 

Saat Aku ingin melupakan, namun dia kembali lagi membawa kenangan. 

Aku tidak ingin ini terjadi. 

Aku ingin memuai saja, Aku ingin melarikan diri saja.

Awan, telan lah Aku. 

Langit, tarik aku. 

Aku ingin melarikan diri darinya. 

Aku bahkah patah hati sebelum mengenalnya lebih jauh.

Namun patahku yang justru menyelamatkan ku dari patah yang lebih parah.


-The End