Ailes Cassées
Aku menatap jalan dari dashboard mobil. Melihat kesibukan orang-orang yang sedang mengejar ambisinya masing-masing. Hanya aku yang mematung, duduk menatap lampu-lampu kendaraan dengan pikiran dan tatapan yang kosong. Aku kabur dari rumah sakit. Empat pasien yang harus Aku operasi hari ini hanya mampu ku selesaikan separuhnya. Aku harusnya berjuang untuk mengobati. Namun kali ini aku gagal. Ada luka besar dalam hatiku yang masih perih yang belum bisa disembuhkan sendiri. Luka patah hati.
Malam semakin larut. Susana kota Mataram semakin sunyi. Ku tatap setiap lampu kendaraan yang melintas seperti orang yang tak punya kerjaan. Tatapan kosong, isi hati kosong, otak pun kosong tak mampu memikirkan apa pun.
“Halo, Narya?”
“Oui, que se passe-t-il?” ucapku dalam bahasa Prancis. Ada apa?
“Pasien atas nama Bapak Rangkuti Aryawan kamu pindahkan ya?” ucap Dika, teman dokterku.
“Yaps! Hari ini Aku sedang nggak enak badan. I decide to move him to another doctor” balasku dengan suara gontai.
“Are you okay there?” ucapnya dengan prihatin.
“I will be okay”
“Will? So you are not okay right now?” balasnya dengan nada bingung.
“Don’t worry! Aku akan baik-baik saja. Need me time aja, kok!” balasku mantap
“Kalau butuh apa-apa, let me know ya” tambahnya.
“Thanks, Dika” balasku kemudian mematikan telepon dan mengaktifkan airplane mode.
Aku tersenyum getir sambil meneteskan air mata. Melamun dengan pikiran kosong tanpa kosa kata apa pun. Merindukan seseorang yang kini sudah pergi dengan orang lain. Seseorang yang mungkin dianggapnya lebih membahagiakan. Sedangkan aku? Hanya sumber masalah bagi dirinya. Seseorang yang dulu dia anggap sebagai manusia yang menguras tenaganya.
Aku rindu hingga menangis! Aku meneteskan air mata karena tak tahan menahan setiap kenangan indah bersamanya. Aku pernah tersungkur lemas karena tak kuat menahan rindu kepadanya.
Terlebih saat aku membuka percakapan kami selama pacaran. Seperti membuka lembaran lama dalam kehidupan. Namun memang percuma. Mau seribu kali pun akan baca lembaran hidup ini, bagian akhirnya akan tetap sama. Alexa tidak akan pernah kembali kepadaku.
“Aku sudah ada orang baru”
“Aku sudah tidak mencintaimu lagi”
Kalimat itu terus-menerus melayang di atas kepalaku. Kemudian jatuh menabrak isi logika ku. Tidak ada perasaan yang paling pahit selain saat mengetahui bahwa seseorang yang amat kamu cintai kini sudah mencintai orang lain. Dan berita buruknya lagi, dia sudah tak mencintaimu lagi.
Sumpah, ini sakit sekali. Aku merindukannya yang telah lama pergi. Dan kini yang ku punya hanyalah rekaman senyumannya di galeri ponsel ku. Beberapa chat lucu yang dulu sempat ku-bintangi bahkan kuberikan pin, beberapa video random dari TikTok, serta beberapa pap yang bahkan tak sempat kuhapus karena terlalu berarti untuk dilupakan. Semua itu kini hanya tinggal serpihan kenangan yang tersimpan di kepalaku. Itu semua indah, tapi sebentar lagi akan menjadi bom waktu untuk diriku sendiri.
Buruknya, kenangan indah itu selalu melayang di kepalaku. Dan mengingat semua serpihan cerita kita berdua itu selalu membuat energiku terkuras habis. Kehilangan sosok dirinya dalam hidupku membuat ku lumpuh seperti burung yang patah sayapnya. Aneh, mengapa selalu kenangan indah bersamanya yang selalu merayap di kepalaku.
Meskipun waktu kita singkat, Dia akan selalu kurindukan lewat hal-hal kecil. Lewat candaan receh yang hanya kita yang bisa mengerti, lewat diam-diam saling menunggu pesan balasan, lewat cara dia menyebut namaku seolah-olah tak ada yang lain di dunia ini. Meski dulu aku mengira bahwa dialah cinta terakhirku. Meski ya, tebakan ku salah total. Dia hinggap hanya sementara. I was thinking that you are the last airport. But I was wrong. Surely, always wrong.
Aku akan tetap mengingatnya, bukan karena aku belum bisa melupakannya, tapi karena dia pernah menjadi rumah yang membuat aku merasa aman. Dia pernah menjadi alasan kenapa hari-hariku terasa lebih ringan, walau hanya sebentar. Bersamanya aku merasakan keajaiban cinta, badanku bisa kuat hanya karena melihat senyumannya yang sangat indah. Jujur, sampai sekarangpun aku belum bisa move on sepenuhnya dari senyumannya yang seperti jelmaan dewa Yunani.
Aku ingin muntah dengan tangisan. Aku ingin mengirim pesan hati kepadanya.
Hai Sayang.
Lewat hal-hal sederhana yang dulu membuat kita tertawa, dan juga lewat hal-hal sulit yang membuat kita bertahan kala itu. Terima kasih karena pernah hadir. Terima kasih karena sempat menjadikan aku bagian dari harimu, walau hanya sebentar. Mataram punya cerita tentang kita berdua. Ciuman dan rasa hangat pelukanmu tidak akan pernah bisa ku lupakan. Aku menangis sejadi-jadinya karena rindu dengan pelukanmu.
Dan kamu perlu tahu, sampai detik ini aku masih jadi orang yang paling bahagia saat tahu kamu baik-baik saja. Mungkin kamu sudah tak lagi melihat ke belakang, tapi aku disini, masih sering memutar ulang semuanya dalam kepalaku-bukan untuk kembali, tapi untuk mengingat bahwa aku pernah merasa sebahagia itu bersamamu.
Oh sayang…
Karena aku tahu, kadang cinta terbaik adalah yang tahu kapan harus merelakan. Dan jika suatu saat kamu merasa dunia terlalu sunyi, semoga kamu bisa ingat bahwa ada seseorang yang dulu pernah menjagamu dengan diam, mencintaimu dalam doanya sendiri, tanpa syarat, tanpa paksaan. Tak ada kamu di sini lagi, tapi hidupku tetap berjalan. Aku masih bangun setiap pagi, menata hati, menata hati, meski tanpa sapamu yang dulu paling kunanti. Kadang rasanya hampa, seolah ada ruang kosong yang tak lagi bisa diisi siapa pun. Tapi mau tak mau aku belajar melangkah sendiri, meski langkahku sering gemetar.
Aku sadar, pada akhirnya aku harus kuat untuk diriku sendiri. Tanpa kamu, dunia ini memang tak lagi sama, tapi ia tak berhenti berputar hanya karena hatiku patah. Dan perlahan, aku mulai menemukan alasan untuk tetap bertahan — bukan lagi karena kamu, tapi karena aku pantas bahagia, meski tanpamu.
“Permisi….”
“Halo Permisi….”
Aku terbangun. Suara seorang kakek membangunkan ku dari belakang kaca.
“Maaf, ada apa, Pak?”
“Maaf! Sudah sejak semalam saya melihat mobil ini parkir. Saya kira ada apa-apa dengan anda” ucapnya.
Dor!
Seperti tertembak peluru. Aku terbangung pukul 11.15 Siang. Aku berdiam diri di tempat ini sejak pukul 21.20 Wita. Dan sekarang baru terbangun. Wajar saja jika orang di luar saya mengira nyawaku sudah hilang.
Kunyalakan ponselku kembali. Baterai masih utuh 90 persen. Sejak dia tak ada, tidak ada notifikasi favorit yang perlu aku lihat dan baca. Ada puluhan chat masuk yang tak sempat terbalas. Aku segera mengarahkan mobilku menuju rumah sakit Harapan Keluarga. Ada satu nyawa yang harus ku selamatkan, di saat nyawa ku sendiri sedang berada di ujung tanduk. Aku hanya bagaikan burung dengan sepasang sayap yang sudah patah.
