Amor Desiderium


Ruang kerja itu sepi, hanya ditemani bunyi detak jam dinding dan desau lembut pendingin ruangan yang nyaris kalah oleh beratnya kantuk. Tumpukan berkas pasien menjulang di atas meja, seperti gunung Rinjani yang tak kunjung susut meski sudah berkali-kali ia coba taklukkan. Wangi agarwood setidaknya sedikit mampu mempertahankan nafas agar tetap mau diajak bertahan untuk bergelut melawan kehidupan. 

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup mata sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa dengan shift panjang, wajah-wajah pasien yang datang silih berganti, juga panggilan darurat yang tak mengenal waktu. Namun, malam itu rasanya berbeda, lelah seakan menempel di setiap urat dan nadi, membuat jarum jam terasa lebih lambat dari biasanya. Badan yang berat dicampur dengan emosi yang tak stabil, bagai kopi bercampur alkohol. Pahitnya sudah terasa seperti racun. 

Kembali Ia meraih selembar berkas paling atas, menatap angka-angka hasil laboratorium yang berdansa-dansa di depan matanya. Pandangan mulai buram, mata sudah mulai beraim dan sedikit perih untuk dibuka, hal ini bukan hanya karena letih, tapi juga karena pikirannya terpecah antara tanggung jawab dan tubuhnya yang menuntut istirahat. Di sudut meja, sebotol minuman ion sejak sore menemaninya, tak lagi berguna kecuali sebagai saksi betapa panjang pertempuran ini. Sesaat, Aexcel berpikir: sampai kapan ia bisa terus bertahan dalam lingkaran ini, menyembuhkan orang lain, namun melupakan dirinya sendiri.

Saat hatinya sendiri belum sembuh, bahkan jauh dari kata sembuh, dirinya sendiri malah harus masih berperang melawan takdir orang lain. Saat para malaikat langit sedang mencoba mengambil nyawa pasiennya, dia sendiri harus bertempur habis-habisan agar ada penundaan kematian. Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, dengan jumlah pasien yang jumlahnya paling tinggi, tugasnya harus berjuang keras menjadi wasit antara ruh dan malaikat. Pekerjaan itu memang berat, namun pekerjaan yang lebih berat justru berasal dari dirinya sendiri yang belum berhasil sama sekali menyembuhkan dirinya sendiri. Saat ia lebih sering menang melawan malaikat, dia sendiri malah selalu kalah dalam menaklukkan diri sendiri. Tiada trophy kemanangan untuk dirinya sendiri dalam melumpuhkan diri sendiri. 

~Mati Satu Tak Tumbuh Lagi —-- Barsena Bestandhi 

melayang pada telinganya melalui AirPod. Setiap huruf, kata, dan kalimat menyerang telak isi hati dan pikirannya. 

Dalam kelelahan itu, ada ruang kosong di dadanya yang lebih menyakitkan daripada tumpukan berkas di meja. Desiderium tui—kerinduan padamu—terbisik tanpa suara di kepalanya, mengingatkan pada wajah yang sudah lama tak ditemuinya. Sejak memilih jalan profesi ini, Aexcel terbiasa kehilangan waktu, kehilangan momen, dan kehilangan banyak orang yang dulu begitu dekat. Malam yang dingin di ruang kerja rumah sakit mendadak terasa asing, seolah-olah dinding putih itu hanya memantulkan kesepian yang ia simpan rapat. Tak jarang, ia merasa bahwa setiap dinding rumah sakit yang ia lalui seolah-olah sedang menertawainya, mengejek, dan mencemoohinya.  

Ia menatap layar ponsel yang tergeletak di samping berkas, berharap ada pesan singkat, sekadar sapaan, atau kabar sederhana yang bisa menenangkan hatinya. Tetapi layar tetap gelap, sama gelapnya dengan lorong panjang rumah sakit yang kini sunyi. “Te desidero,” gumamnya lirih, seakan bahasa asing itu bisa sedikit meredakan sesak di dada. Kerinduan yang dipendam terlalu lama justru terasa lebih nyata di saat tubuhnya paling lemah, mengajarkan bahwa lelah tak hanya datang dari kerja, tetapi juga dari hati yang merindu tanpa pernah benar-benar terjawab. Rindu yang tak terjawab dan terbalas itu ternyata begitu pedih. Benar-benar menyedihkan. 

“Setiap rindu harus ku telan sendiri, setiap kangen harus ku pendam sendiri. Apakah ini yang disebut dengan jatuh cinta sendiri? ucapnya dengan lembut, berbicara dengan dirinya sendiri. 


Dia seperti benar-benar telah kehilangan arah tanpa Kanu, seseorang yang saat ini memilih pergi tanpa penjelasan dan argumentasi. 


“Aku sakit parah, mungkin usiaku tidak akan lama. I won’t be longer” ucap Kanu pada pesan teks Telegram.

“Aku masih mencintaimu, namun keadaan ku seperti ini” tambahnya lagi.


Aexcel memilih diam. Tak memberi balasan apa pun. 

Dengan perasaan gontai, dia berusaha untuk menelpon. Berkali-kali, namun tak ada jawaban.

“Maaf, Aku sudah di Amerika” balasnya dalam pesan teks. 


Aexcel meradang. Bagaimana mungkin banyak hal yang telah dilalui oleh kekasihnya tak diketahui olehnya. Apakah selama ini ada banyak cerita yang terlewatkan dari Kanu? Atau apakah Aexcel terlalu sibuk sehingga tak ada waktu untuk peduli dengan kesehatan Kanu? Tapi sakit parah apa? Bisakah Kanu datang atau telpon baik-baik dan memberikan penjelasan yang tepat atas kondisinya tersebut? Pertanyaan-pertanyaan itu melayang di kepalanya. Hati yang tengah berantakan, disiram oleh air panas. Aexcel hanya meradang dan menahan luka itu sendiri. 

Sejak saat itu, Aexcel merasa bahwa hubungannya dengan Kanu menjadi mengambang. Tidak ada kejelasan mengenai arah dan ujungnya. Aexcel ingin menuntut kejelasan, namun jarinya juga sama-sama keras kepala untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Ia paham jika cinta tak boleh dipaksakan, begitu pula dengan kondisinya saat ini. Jika memang Kanu memilih pergi, maka ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Namun entah mengapa, rasa rindu itu selalu datang menghampiri. 

Kata orang, jika kamu mengingat terus seseorang, kemungkinan besar orang tersebut pun sedang memikirkan namamu. Tapi Aexcel sepertinya tak percaya itu semua. Percuma, karena hingga hari ini pun, Kanu masih hilang dan tak pernah datang kembali. Kanu tak mencari, Kanu tak kembali, dan mungkin memang sudah tak peduli.


Aexcel benar-benar merasa gagal. Saat pendidikan dokter spesialisnya mampu menyembuhkan banyak sakit, dia sendiri malah gagal menyelamatkan kekasihnya dan dirinya sendiri. Kadang dibalik kegagalan, selalu ada pesan indah yang terselip. Namun kali ini, entah pesan indah apa yang sedang Tuhan ingin selipkan.